Rabu, 23 Desember 2020

SEJARAH PATTALLASSANG (Masuk Anggota Bate Salapang)

    Sekitar tahun 1910 Pemerintahan Belanda menghapus semua hak-hak apanage, baik yang ada di wilayah Kerajaan Gowa maupun wilayah yang masuk kekuasaan Belanda. Banyak anak Raja yang mencoba mempertahankan hak apanage seperti sawah atau kebun dengan menuntut di pengadilan Swapraja, namun Belanda tidak mudah menerima tuntutannya itu.

    Pada masa pemerintahan Raja Gowa Sultan I Kumala Karaeng Lembang Parang (Raja Gowa XXXII), I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka (Raja Gowa III), dan I Makkulau Daeng Serang KARAeng Lembang Parang (Raja Gowa XXXIV) yang sebenarnya menjalankan pemerintahan di Gowa secara aktif (kecuali semasa hidupnya Pabbicara Butta, Mahmud Karaeng Borowanging). Dialah sebagai Tumailalang Towa dan bertindak selaku hakim, mengadili perkara kejahatan dan perdata kadang-kadang sendrian, akan tetapi biasanya didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan seperti Anrong Guru Lompona Tukajannangngang, dan dua orang anggota Bate Salapanga yakni Gallarrang Mangasa dan Tombolo.

    Adapun Lembaga Bate Salapang sejak dahulu kala hingga tahun 1905 telah banyak kali mengalami perubahan atau pergantin. Sewaktu Raja Gowa XI Karaeng Tunibatta tewas dalam peperangang di Bone di tahun 1565. Dari peristiwa itu, ada beberapa anggota Bate Salapanga dipecat dari jabatannya karena kelalaiannya atau keteledorannya hingga membuat Karaeng tewas dalam peperangang saat melawan Bone. Gallarrang yang dipecat itu adalah Gallarrang Pampang, Gallarrang Batua, dan Gallarrang Tamarunang. Mereka masing-masing digantikan oleh Gallarrang Sudiang, Karaeng Manuju dan Karaeng Borisallo selaku anggota Bate Salapanga.

    Disamping itu, anggota Bate Salapanga membagi Gowa dalam tiga kelompong:

1. Gowa Ilau (Gowa Barat) terdiri dari Gallarrang Tombolo, Gallarrang Mangasa dan Gallarrang Saumata.

2. Gowa Tangnga (Gowa Tengah) terdiri dari Karaeng Pattallassang, Karaeng Paccellekang dan Gallarrang Bontomanai

3. Gowa Iraya (Gowa Timur) terdiri dari Karaeng Manuju, Karaeng Borisallo, dan Karaeng Sudiang.

    Pada tahun 1894 sewaktu Sultan I Mallingkaang Daeng Nyonri menjadi Raja Gowa, perjanjian antara Belanada dengan Raja Gowa turut juga ditandatangani oleh Bate Salapang yang terdiri dari:

1. Karaeng Gantarang (Parigi)

2. Gallarrang Mangasa

3. Gallarrang Tombolo

4. Gallarrang Saumata

5. Gallarrang Bontomanai

6. Gallarrang Camba

7. Gallarrang Sudiang

8. Gallarrang Paccellekang

9. Gallarrang Pattallassang

    Kemudian sekitar tahun 1900, Bate Salapanga terdiri dari:

1. Gallarrang Mangasa

2. Gallarrang Tombolo

3. Gallarrang Saumata

4. Gallarrang Sudiang

5. Gallarrang Paccellekang

6. Karaeng Pattallassang

7. Karaeng Bontomanai

8. Kareang Manuju dan

9. Karaeng Borongloe

    Dari fakta sejarah itulah menunjukkan bahwa Negeri Pattallassang dan Paccellekang bergabung dengan Bate Salapanga sejak Raja Gowa IV Tunatangkalopi (1445-1460). Sedangkan negeri tetangganya, yakni Borisallo dan Manuju menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565 menggantikan Gallarrang Batua, Tamamaung dan Pampang karena kelalaiannya sehingga Karaeng Tunibatta (Raja Gowa XI) tewas dalam peperangan. Kemudian pada tahun 1900, para pemimpin Bate Salapanga ini, ada yang bergelar Gallarrang ada pula bergelar Karaeng.

SEJARAH PATTALLASSANG (Masuk Kerajaan Gowa)

    Konon, pada masa pemerintahan Tumanurung hingga Raja Gowa kelima Karampang ri Gowa, wilayah Kerajaan Gowa saat itu hanya mencakup ke 9 Kasuwiang. Ini berarti, Negeri Pattallassang dan sekitarnya yang jauh dari negeri 9 Kasuwiang itu, belum masuk dalam wilayah Kerajaan Gowa. 

    Pada masa pemerintahan Raja Gowa VI Tunatangkalopi (1445-1460), sudah ada upaya untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan daerah daerah sekitarnya, termasuk Kerajaan Tallo.

     Pada masa pemerintahan Tunatangkalopi, beliau yang memiliki dua putra itu khawatir, kalau putranya itu bersengketa memperebutkan singgasana kekuasaan di Kerajaan Gowa.

    Menghindari terjadinya perselisihan kedua bersaudara itu, Tunatangkalopi membagi dua wilayah kekuasaan yang terdiri dari beberapa gallarrang.

    Wilayah pertama yang akan diperuntukkan bagi Batara Guru meliputi wilayah:

1. Gallarrang Paccellekang

2. Gallarrang Pattallassang

3. Gallarrang Bontomanai Timur

4. Gallarrang Bontomanai Barat

5. Gallarrang Tombolok dan

6. Gallarrang Mangasa

    Wilayah kedua yang akan diperuntukkan bagi Karaeng Loe ri Sero terdiri wilayah:

1. Gallarrang Saumata

2. Gallarrang Pannampuk

3. Gallarrang Moncongloe

4. Gallarrang Parangloe

    Walau kedua wilayah itu kekuasaan itu dibagi dua, akan tetapi tetap menyatu dalam wilayah Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa - Tallo saat itu dikenal sebagai kerajaan kembar. Kala itu muncul sebuah istilah Rua Karaeng Se're Ata (dua raja tapi hanya satu rakyat).

    Setelah Tunatangkalopi turun tahta, beliau digantikan oleh kedua putranya. Batara Guru memegang tempuk pemerintahan di Kerajaan Gowa sedang adiknya memegang pemerintahaan di Kerajaan Tallo. Menyatuanya kedua kerajaan itu, karena Raja Tallo juga berfungsi sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa.

    Di wilayah Kerajaan Gowa saat itu terus memperluas wilayah kekuasaan ke timur, hingga sampai ke wilayah Lebonga (Borisallo). Di perbatasan Borisallo dengan Tinggimoncong, ada sebuah perkambungan bernama Jonggowa. Konon, Jonggowa itu berasal dari kata Ujung Gowa, yang berarti uUjung Gowa di wilayah Timur.

    Dari fakta sejarah tersebut, menunjukkan bahwa beberapa daerah kerajaan kecil, seperti Borisallo, Manuju, Pattallassang dan Paccellakang, saat itu sudah masuk dalam wilayah Kerajaan Gowa.

    Kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa IXI Manuntungi Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisik Kallonna (1510-1546) beliau telah memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan beberapa daerah: Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangang, Bulukumba, Selayar, Panakukang, Campaga, Marusu. Selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjong, Tanete (Barru), Kahu, Pakombong, dijadikan sebagai kerajaan Palilik atau kerajaan taklukan.

    Dari data sejarah itu sudah jelas bahwa Negeri Pattallassang maupun Paccellekang dan negeri sekitarnya, saat itu sudah bergabung dengan Kerajaan Gowa. Hal tersebut dapat dilihat dengan masuknya beberapa wilayah Sulsel di bagian selatan, seperti Bulukumba dan Selayar yang secara otomatis, kedua kerajaan itu (Borisallo, Manuju, Pattallassang dan Paccellekang) sudah ada didalamnya. Bahkan ketika itu, Pattallassang maupun Paccellekang sudah masuk dalam anggota Bate Salapanga ri Gowa.

    Ketika itu, Pattallassang maupun Paccellekang juga memiliki Tubarani yang direkrut oleh Kerajaan Gowa dalam rangka memperkuat wilayah pertahanan Kerajaan. Tubarani dari Pattallassang itu kemudian diberi nama "Campagana Pattallassang" sedangkan dari Paccellekang disebut Lampungna Paccellekang, Para Tubarani dari kedua negeri itu, dijadikan sebagai pasukang Paklapang Barambang (Panglima Perang) dalam setiap memperluas wilayah kekuasaan.

    Lebih-lebih lagi pada masa pemerintahan Raja Gowa XI Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan kerajaan Bajeng, Lengkese, Lamuru, Cenrana, Salomekko, Bulo-bulo, Selayar, Otteng, Wajo, Sawitto, Soppeng, Alitta, Mandar, Luwu, Kaili, Toli-toli,, hingga mencakup seluruh wilayah Sulawesi.

    Puncak keemasan Kerajaan Gowa terjadi pada masa pemerintahan Raja Gowa XV Sultan Malikkussaid (1639-1653) dengan Mangkubumi Karaeng Pattingalloang, dengan pengaruh kekuasaan meliputi separuh nusantara di wilayah Timur yang meliputi wilayah Sulawesi, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara (kecuali Bali), Australia Utara (Pulau Marege), Kepulauan Maluku, dan pada masa itu Gowa mengalami zaman keemasan (GOldem Eeum). Setelah Perjanjian Bungaya 18 November 1667, Gowa mengalami kemunduran.

    Untuk wilayah Kerajaan Borisallo dan sekitarnya dimana dulunya termasuk kawasan hutan belantara yang dijadikan oleh kaum pejuang sebagai tempat persembunyian. Banyak pejuang yang melakukan gerilya di daerah sekitar itu, diantaranya I Mappasempak Daeng Mamaro Karaeng Bontolangkasa yang dimakamkan di Bontoparang. Raja Gowa ke XXVI AMas Madina yang lebih dikenal dengan Batara Gowa II atau I Sangkilang (1753-1767) yang makamnya kini ada di Lanna Parangloe.

SEJARAH PATTALLASSANG (Masa Tumanurung di Pattallassang)

    Sejarah telah mencatat, bahwa wilaya Kecamatan Pattallassang pada sebelum terbentuknya Kerajaan Gowa silam, juga berdiri suatu wilayah pemerintahan. kala itu, masyarakat hidup secara berkelompok dan membentuk sebuah pemerintahan atau kerajaan kecil, dimana pemerintahannya disebut Dampang atau raja kecil.

    Pada masa Gowa purba, kehidupan masyarakat secara berkelompok itu, tak selamanya akur. Pernah suatu ketika, peperangan antar kelompok tak pernah terelakan, para pemimpin negeri yang bertikai itu berupaya mendamaikan warganya, namun tak mampu menyelesaikan konfik, malah semakin jadi.

    Untuk mendamaikan konfil tersebut, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya kharismatik dan mau diterima oleh semua pihak. Ketika terjadi pertempuran di Mamampang, maka prajurit kedua belah pihak melihat sesuatu yang terbang diatas kampung Mamampang. Benda yang terbang itu adalahseberkas cahaya yang berkilau seperti emas dan dibelakangnya ada sebuah bendera yang ikut dalam benda terbang itu.

    Melihat sesuatu yang aneh itu, kedua kelompok warga yang bertikai itu menghentikan pertempuran, seraya mendekati benda terbang itu. Benda itu pertamanya turun di Mamampang, kemudian bergerak lagi sepanjang satu kilometer menuju sebuah pohon cempaka. Di atas pohon cempaka itulah, kilauan cahaya itu hinggap bersama benderanya.

    Untuk menurunkan, cahaya dan benda itu, maka warga setempat memukulkan gendang (ganrang pakarena) diikuti dengan tarian para dara-dara manis. Suara gendang yang bertalu-talu itulah, akhirnya cahaya dan benda itu turun ke tanah. Sampai di tanah, bendera itu kemudian diambil oleh warga, dan kemudian dinamakan bendera Jole-jolea. Sedangkan seberkas cahaya itu, kemudian terus bersinar di tengah gelap gulita, dan akhirnya sinar itu kemudianberubah bentuk menjadi putri cantik. Putri cantik itu membawa beberapa perhiasan terbuat dari emas, seperti mahkotan dan emas batangan lainnya, juga sebuah tongkat sakti.

    Tana tempat cahaya itu turun, kemudian putri cantik itu menancapkan tongkatnya, dan membentuk sebuah sumur besar. Sumur itu kemudian diberi nama Bungung Lompoa. Putri cantik menciptakan sebuah sumur besar saat itu, karna kondisi negeri itu juga dilanda kekeringan, lagi pula dengan adanya sumber air, lahan menjadi subur dan warga bisa menjadi sejahtera.

    Karna putri cantik itu oleh warga setempat tak diketahui namanya, sehingga warga di Mamampang dan sekitarnya saat itu menamakan putri cantik itu sebagai Tumanurung, artinya putri yang turun dari negeri Kayangan.

    Karena kondiri negeri di Pattallassang, Khususnya di Mamampang saat itu mengalami krisis kepemimpinan, maka semua warga yang bertikai sepakat untuk mengangkat Tumanurung itu sebagai pemimpinnya. Tumanurunglah menjadi Raja pertama. Negeri Pattallassang. Tumanurung itu kemudian diarak ke sebuah tempat untuk dilakukan sebagai acara pelantikan Ratu. Tempat itu kemudian dinamakan Pallantikang.

    Masa pemerintahan Tumanurung di Pattallassang itu terbentuk setelah Putri Tumanurunga di Tamalate (Gowa) terbentuk. Putri cantik itu turun di bukit Tamalate juga untuk mempersatukan negeri di Kasuwiang Salapanga yang juga dilanda perang saat itu. Putri Tumanurung yang punya Khatismatik di negeri Kasuwiang, telah mampu meredakan pertikaian dan merubah Gowa menjadi negeri yang aman dan damai.

    Ketika Putri Tumanurung menjadi ratu di Pattallassang, negeri yang tadinya kocar kacir karna dilanda perang, tiba-tiba berubah menjadi negeri yang aman. Para warga terlihat saling memafkan atas kesalahan yang pernah mereka perbuat. Mereka bekerja keras untuk menutupi kehidupannya, Para petani sudah bebas menggarap kebun maupun sawahnya, dan hasilnya melimpah, membuat warga Pattallassang semakin makmur.

    Agar Putri Tumanurung itu betah memerintah di Pattallassang, maka warganya membangunkan sebuah istana di dekat tempat ia berpijak ketanah yakni dekat Bungung Lompoa.

    Setelah sekian tahun lamanya Putri Tumanurung memerintah, maka ia kemudian mengumpulkan warganya, agar kelak bila iya kembali ke negerinya, ia menunjuk salah seorang warga Pattallassang, agar kelak menyetujui sebagai pemimpinnya. Apa yang disampaikan oleh Ratu, bisa diterima baik oleh warganya. Satu lagi Putri Ratu ia pesan, agar jangan lagi ada pertikaian di negeri ini.

    Tak lama setelah Putri Ratu menyampaikan pesan, Ratu kemudian menghilang atau raib ke negeri Kayangan. Warga setempat menamakan Tunisayang, artinya orang yang raib ke negeri Kayangan.

    Sejak saat itu pula, negeri Pattallassang menjadi sebuah negeri yang makmur, aman dan damai. Itu pulahlah sebabnya, negeri itu dinamakan Pattallassang, karena banyak terdapat sumber penghidupan di negeri itu, yang membuat rakyatnya sejahtera.

    Konon, Pattallassang pada masa Pemerintahan kolonial belanda dulu merupakan tempat pelarian bagi para pembangkan. Setelah mereka masuk di kampung Pattallassang, mereka sudah aman, atau dapat hidup dengan bebas. Karena didalam daerah itu para pelarian politik mendapat perlindungan dari para tubarani. Itulah sebabnya disebut Pattallassang, artinya tampat penghidupan.

    Bahkan ada kampung sekitar itu, namanya Teamate (Tidak mau mati). Pemberian nama kampung itu seiring dengan nama Pattallassang, yakni orang tidak boleh mati, kecuali memang ajal menjemput. 

SEJARAH PATTALLASSANG (Masuk Anggota Bate Salapang)

     Sekitar tahun 1910 Pemerintahan Belanda menghapus semua hak-hak apanage, baik yang ada di wilayah Kerajaan Gowa maupun wilayah yang mas...